Blog

  • Kerajaan Sriwijaya kerajaan dari tanah sumatra

    Kerajaan Sriwijaya kerajaan dari tanah sumatra

    Sriwijaya adalah kedatuan bahari historis yang berasal dari Pulau Sumatra sekitar abad ke-7 sampai abad ke-11. Kehadirannya banyak memberi pengaruh pada perkembangan sejarah Asia Tenggara (terutama dalam kawasan Nusantara barat). Dalam bahasa melayu kuno, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang”, dan vijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”;dengan demikian, nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”. Lokasi ibukota Sriwijaya dapat dengan akurat disimpulkan berada di Kota Palembang, tepatnya di muara Sungai Musi. Sriwijaya terdiri dari sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka

    Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682, prasasti ini merupakan catatan bahasa melayu kuno paling tua yang pernah ditemukan dan menjadi bukti bahwa bahasa melayu bermula dari Palembang dan kemudian menyebar menjadi bahasa pengantar di seluruh Asia Tenggara melalui kemaharajaan Sriwijaya. 

    Meskipun sempat dianggap sebagai thalasokrasi (kerajaan berbasis maritim), penelitian baru tentang catatan yang tersedia menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan negara berbasis darat daripada kekuatan maritim. Armada laut memang tersedia tetapi bertindak sebagai dukungan logistik untuk memfasilitasi proyeksi kekuatan darat. Menanggapi perubahan ekonomi maritim Asia, dan terancam oleh hilangnya negara bawahannya, kerajaan-kerajaan di sekitar selat Malaka mengembangkan strategi angkatan laut untuk menunda kemerosotannya. Strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan di sekitar selat Malaka bersifat menghukum untuk memaksa kapal-kapal dagang datang ke pelabuhan mereka. Kemudian, strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan tersebut merosot menjadi armada perompak.

    Pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut akibat beberapa peperangan. Serangan besar pada tahun 1025 dilancarkan oleh pasukan Rajendra Chola I dari Koromandel. Setelah itu, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 oleh se jarawan Prancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient

    Catatan sejarah

    Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Prancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kerajaan yang sama

    Kedatuan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing yang tinggal disana selama 6 bulan saat belajar tata bahasa Sansekerta atau Sabda Vidya. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mendapatkan pengaruh dari Budaya Hindu Buddha dan kata serapan dari bahasa Sansekerta.Dari prasasti Kedukan Bukit pada tanggal 23 April 682 Masehi diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Dia berangkat melakukan mangalap siddhayatra menggunakan perahu. Dia memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga menuju tempat yang diawali dengan kata Ma….. Di samping itu, kabar-kabar regional yang beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Zabag dan Raja Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan. Sepertinya kisah Zabag-Khmer didasarkan pada kekuasaan Jawa atas Kamboja, bukan kekuasaan Sriwijaya atas Kamboja.

    Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan salah satu kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, Sriwijaya dan Majapahit menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.

    Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Bangsa Arab menyebutnya Sribuza dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan

    Perdagangan

    Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

    Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Melayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Malaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

    Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-‘o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Tiongkok, berupa ts’engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

    Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

    Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka

    Militer

    Sebelumnya diasumsikan bahwa Sriwijaya merupakan kekuatan maritim yang tidak lepas hubungannya dengan etnisitas dan kebudayaan masyarakat di Selat Malaka. Asumsi yang terjadi adalah bahwa terbentuknya negara dengan sukses dan hegemoni di selat berhubungan langsung dengan kemampuan dalam keikutsertaan kegiatan maritim internasional, yang berarti negara ini berkembang dan mempertahankan lingkaran kekuasaannya dengan angkatan laut. Akan tetapi, survei dari informasi yang ada menunjukkan bahwa asumsi seperti itu tidak tepat. Data tentang aktivitas maritim sangat sedikit dan penyebutan angkatan laut hanya terjadi dalam sumber yang tidak lengkap. Bahkan aspek material angkatan laut Asia Tenggara tidak diketahui hingga abad ke-15, perhatian ilmiah umumnya berfokus pada teknik pembuatan kapal.

    Dalam prasasti Kedukan Bukit (683 M), mencatat bahwa hanya 312 orang yang menggunakan perahu dari total kekuatan 20.000 orang, yang juga termasuk didalamnya 1312 orang tentara darat. Banyaknya jumlah tentara darat menunjukan bahwa angkatan laut Sriwijaya hanya berperan sebagai penyedia kecil dukungan logistik. Pada abad ke-8, kemampuan angkatan laut Sriwijaya berkembang mengimbangi proporsi kekuatan angkatan daratnya, meskipun hanya berperan sebagai pendukung logistik

    Selain itu, tidak adanya istilah yang menunjukkan kapal laut untuk keperluan umum dan militer menunjukkan bahwa angkatan laut bukanlah aspek permanen negara di Selat Malaka. Bahkan ketika kekuatan tetangga di maritim Asia, terutama Jawa selama abad ke-10 hingga 14, dan Chola India pada abad ke-11, mulai mengembangkan angkatan lautnya, kekuatan laut Sriwijaya relatif lemah. Sebagai contoh kasus, Songshi dan Wenxian Tongkat mencatat bahwa antara tahun 990 dan 991, seorang utusan Sriwijaya tidak dapat kembali dari Cina Selatan ke Palembang karena konflik militer yang sedang berlangsung antara Jawa dan Sriwijaya. Namun orang Jawa, orang Arab dari Timur Tengah, dan orang Asia Selatan mampu mempertahankan pertukaran diplomatik dan ekonomi dengan Cina selama waktu ini. Jelas, angkatan laut Jawa cukup kuat untuk benar-benar mengganggu komunikasi Sriwijaya dengan Cina. Terlepas dari konfrontasi angkatan laut antara Jawa dan Sriwijaya, komunikasi antara negara-negara pesisir Samudra Hindia dan Cina terus berlanjut selama waktu ini, menunjukkan bahwa konflik tidak selalu terjadi di laut lepas, tetapi lebih cenderung terbatas pada muara dan sungai di sekitar ibu kota Sriwijaya di Palembang, muara Sungai Musi dan Selat Bangka

    Tanggapan Sriwijaya terhadap agresi Jawa tampaknya bersifat defensif. Dalam catatannya tentang Sanfoqi, Zhao Rugua mencatat dalam Zhufan Zhi (sekitar tahun 1225):

    “Di masa lalu, [negara ini] menggunakan rantai besi sebagai penghalang untuk bersiap menghadapi pihak perampok lainnya (tiba dengan kapal?). Ada peluang untuk melepaskannya (yaitu menarik) dengan tangan. Jika kapal dagang tiba, (rantai) itu harus dilepaskan”

    Ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk menanggapi ancaman maritim menjadi sangat jelas di awal abad ke-11. Antara 1017 dan 1025, Chola menyerbu pelabuhan-pelabuhan utama Melayu di Selat dan Teluk Siam, termasuk Kedah, Melayu (Jambi), Lambri, Sriwijaya dan Langkasuka, menjarah perbendaharaan Kedah dan menangkap penguasa Sriwijaya, merupakan indikasi lebih lanjut dari ketidakmampuan negeri-negeri Selat Malaka untuk mempertahankan diri dari serangan angkatan laut

    Dengan demikian, hingga abad ke-11, setidaknya dalam hal pandangan militer mereka, kerajaan tersebut bisa dibilang berbasis darat. Hanya dengan perubahan konteks internasional dari abad kesebelas dan seterusnya, yang awalnya ditandai dengan serangan Chola, dan kemudian dengan meningkatnya kehadiran pedagang Cina yang langsung beroperasi di perairan Asia Tenggara, ditambah dengan munculnya kekuatan baru di pinggiran laut, peran dan sifat angkatan laut ini mulai berubah

    Pendidikan

    Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya

    terdapat lebih dari 1000 pandita Buddha di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dhamma dengan baik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma autentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.

    Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijaya Negara di Malayagiri di Suvarnadvipa

    Kedatuan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

    Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termasyhur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

    Pelayaran

    Imigrasi

    Inti dari kekuasaan Sriwijaya terkonsentrasi di dalam dan di sekitar selat Malaka dan Sunda dan di Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Jawa Barat. Namun, antara abad ke-9 dan ke-12, pengaruh Sriwijaya tampaknya telah jauh melampaui inti. Para navigator Sriwijaya tampaknya telah mencapai sejauh Madagaskar. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan telah terjadi 1.200 tahun yang lalu sekitar 830 M. Menurut sebuah studi DNA mitokondria baru yang luas, penduduk asli Malaysia saat ini kemungkinan dapat melacak warisan mereka kembali ke 30 ibu pendiri yang berlayar dari Indonesia 1.200 tahun yang lalu. Malagasi berisi kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi bahasa lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu, mengisyaratkan bahwa Madagaskar mungkin telah dijajah oleh pemukim dari Sriwijaya

    Jenis kapal

    Catatan tekstual kapal Sriwijaya sangat sedikit, karena catatan epigrafi Melayu kuno jarang menyebutkan kendaraan air. Prasasti Kedukan Bukit (683 M) menyebutkan sambau (Bahasa Melayu modern: Sampan). Sebuah jenis kapal yang disebut lancang diidentifikasi sebagai jenis kapal Melayu dalam catatan abad-abad kemudian, tetapi pada zaman Sriwijaya, kapal itu disebutkan dalam 2 prasasti di pantai utara Bali tanggal 896 dan 923 Masehi. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Bali kuno, bukan bahasa Melayu kuno

    Ibu kota

    Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.

    Berdasarkan observasi sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.

    Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di kawasan sealiran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cenderung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat Kedatuan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamani Warmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata “temu”, lalu ditafsirkannya “daerah tempat sungai bertemu”. Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribu kota di Kadaram (Kedah sekarang)

    Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar. Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Vajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddha, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.

    Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat Kedatuan Sriwijaya.Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata “Cahaya” dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sriwijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarawan Thailand,meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.

    Luas wilayah

    Menurut data arkeologi, observasi, dan catatan luar negeri

    Pada abad ke-7, Sriwijaya menaklukkan kerajaan Kedah dan Melayu dan menjadikan mereka sebagai dua kerajaan vasal sebagai bagian kedatuan Sriwijaya. Berdasarkan penyebaran prasasti, seperti prasasti Kota Kapur yang ditemukan di pulau Bangka, Karang Berahi, Palas Pasemah dan Ligor yang berlokasi di Thailand menunjukkan kekuasaan kedatuan ini tersebar di wilayah ditemukan prasasti-prasasti ini.Prasasti Kota Kapur memuat kutukan terhadap siapapun yang mengkhianati Sriwijaya. dan menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.Istilah Bhumi Jawa masih dalam berbagai tafsiran dan mungkin bisa merujuk kepada daerah di Sumatera atau Pulau Jawa. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Jawa bagian Barat, dan kemungkinan juga Teluk Thailand.

    Pada tahun 775, Sriwijaya menaklukkan Nakhon Si Thammarat dan memperluas kekuasaannya ke Langkasuka. Pada abad ke-8, Pan Pan berada dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya di bawah kuasa dari Dharmasetu.yang nantinya pada abad ke -10 berubah nama menjadi Tambralingga.

    Selain itu, dalam Prasasti Tanjore (1030) juga termuat daftar wilayah Sriwijaya. Seperti yang tertera pada tabel dibawah ini

    Puncak kejayaan

    Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

    Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sulaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabag (Sriwijaya atau Jawa) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

    Kedatuan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaan nya

    Konflik luar negeri

    Berperang melawan Medang

    Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menentang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kedatuan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh bala tentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

    Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik tahta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.

    Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Pengaruh hindu-budha batu Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa

    Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).

    Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh

    Kemunduran

    Serbuan kerajaan Chola

    Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i (Sanfoqi) ke Tiongkok tahun 1028.  Sanfoqi mengirim utusan ke Cina pada tahun 1028, tetapi ini merujuk pada kerajaan Melayu-Jambi, bukan Sriwijaya-Palembang, dibuktikan dengan catatan China tentang Sanfoqi Zhanbei guo (Sanfoqi negara Jambi).

    Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.

    Tidak ada utusan Sriwijaya datang ke Cina antara 1028–1077. Ini mengindikasikan bahwa kekuasaan Sriwijaya sudah memudar. Sangat mungkin Sriwijaya sudah runtuh pada tahun 1025. Pada abad-abad setelahnya, kronik Tiongkok masih menyebut “Sanfoqi“, tetapi istilah ini kemungkinan merujuk pada kerajaan Melayu-Jambi. Bukti epigrafi terakhir yang menyebut kata “Sriwijaya” berasal dari prasasti Tanjore kerajaan Chola tahun 1030 atau 1031

    Di bawah kekuasaan Chola

    Pada masa setelah 1025 Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari kerajaan Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts’i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Tiongkok di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.

    Penguasaan kerajaan Chola atas Sriwijaya berlangsung selama beberapa dekade. Kronik Cina menyebutkan Sanfoqi Zhu-nian guo yang berarti “Sanfoqi negara Chola”, kemungkinan merujuk ke Kedah. Sanfoqi Zhu-nian guo mengirim utusan ke Tiongkok pada 1077, 1079, 1082, 1088, dan 1090 M. Ada kemungkinan bahwa Chola melantik putra mahkota di wilayah yang didominasi Tamil di selat Malaka

    Kolonisasi orang Tamil di selat Malaka tampaknya telah berlangsung selama satu abad. Chola meninggalkan beberapa prasasti di Sumatra bagian utara dan semenanjung Melayu. Pengaruh Tamil dapat ditemukan dalam karya seni (patung dan arsitektur candi), yang menunjukkan aktivitas pemerintahan daripada perdagangan. Cengkeraman Chola di Sumatera bagian utara dan semenanjung Melayu surut pada abad ke-12 — puisi Tamil Kalingatupparani yang ditulis sekitar tahun 1120 menyebutkan penghancuran Kadaram (Kedah) oleh Kulotungga. Setelah itu, Kedah menghilang dari sumber-sumber India

    Struktur pemerintahan

    Masyarakat Sriwijaya sangat majemuk, dan mengenal stratifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi

    Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tanah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya

    Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Addhyākṣī nījavarṇa (pengawas kaum berkasta rendah), vāṣīkaraṇa (pandai besi/pembuat senjata pisau), kāyastha (juru tulis), sthāpaka (pemahat), puhāvaṁ (nakhoda kapal), vaṇiyāga (peniaga), pratisāra (pemimpin kelompok kerja), marsī hāji (tukang cuci), dan hulun hāji (budak raja)

    Menurut kronik Tiongkok Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan di atas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa pembagian ini dilakukan untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya

    Hubungan diplomatik

    Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kerajaan lain.

    Dengan kekhalifahan Umayyah

    Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.Surat itu dikutip dalam Al-‘Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Cordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Taghribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).

    “Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang istrinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku.”

    — Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz

    Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

    Dengan kerajaan Medang

    Hubungan dengan wangsa Sailendra

    Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti diantaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatra, maka diduga wangsa Syailendra berasal dari Sumatra walaupun prasasti Sojomerto ditulis dalam aksara Jawa, kemungkinan jawa hanya terkena pengaruh agama buddha yang masuk melalui Sumatera, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.

    Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalingga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno diantaranya prasasti Sojomerto

    Prasasti Sojomerto sering digunakan sebagai bukti bahwa wangsa Syailendra berasal dari Sumatra karena mengasumsikan kata Syailendra sebagai penyebutan Melayu untuk Sailendra dan Dapunta Selendra adalah pendahulu dinasti ini, namun penelitian termutakhir tidak menunjukkan seperti itu: Menurut Damais, prasasti Sojomerto berasal dari abad ke-8, menempatkannya setelah prasasti Kedukan Bukit (683 M). Selain itu nama Syailendra dari prasasti Sojomerto sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Syailendra Dalam prasasti itu disebut kata hakairu dan daiva yang mempunyai diftong ai, sehingga seharusnya diftong itu juga digunakan dalam nama Dapunta Selendra. Selain itu, teori ini sudah usang karena tidak ada data keberadaan dinasti Syailendra di Sumatra lebih awal dari abad kesembilan dan Sriwijaya tidak dapat menaklukkan Jawa, yang terjadi adalah kebalikannya — dinasti Syailendra menundukan Sriwijaya dan daerahnya di semenanjung Melayu.

    Dinasti Syailendra dari Jawa menjalin hubungan dengan garis keturunan Sriwijaya dari Sumatera, dan selanjutnya mendirikan kekuasaan dan kekuasaan mereka di Kerajaan Mataram Jawa Tengah. Tidak diketahui sifat pasti dari hubungan itu, dengan sumber-sumber Arab menyebutkan bahwa Zabag (Jawa) memerintah Sribuza (Sriwijaya), Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, mungkin Kedah), dan Ramnit (sebuah tempat di Sumatera, mungkin Lamuri).

    Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800–819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang gemar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparvata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.

    Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga.Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana

     menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.

    Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Syailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792

    Dengan kerajaan Pala

    Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja Jawa.

    Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.

    Dengan kerajaan Chola

    Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamani Farma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11.

    Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamani Farma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-kamu) sebagai raja San-fo-ts’i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miao Kwan

    Dengan kekaisaran Tiongkok

    Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran Tiongkok, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti

    Warisan budaya

    Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Siguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan.

    Bahasa Melayu Kuno

    Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya yang berbahasa Melayu Kuno, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.

    Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang.

    Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.

    Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M

    Candi

    Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera, sangat berbeda dengan wangsa Syailendra dari Jawa Tengah yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.

    Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatra terbuat dari bata merah.

    Prasasti

    Sampai dengan tahun 2022 diketahui ada 45 prasasti yang terkait atau dianggap terkait dengan Sriwijaya. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Beberapa yang terkemuka adalah sebagai berikut.

    1. Prasasti Kota Kapur, merupakan prasasti pertama tentang Sriwijaya yang ditemukan dan berbentuk tiang/tugu bertulis, isinya menyebutkan keperkasaan bala tentara Sriwijaya atas lawannya.
    2. Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.
    3. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan.
    4. Prasasti Kedukan Bukit, ditemukan di Palembang dan tahun yang tersebut di dalamnya menjadi dasar berdirinya Kota Palembang.

    Bangkai perahu

    Balai Arkeologi Palembang menemukan sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kedatuan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu

  • Kerajaan tarumanegara kerajaan tertua kedua

    Kerajaan tarumanegara kerajaan tertua kedua

    Tarumanagara atau Kerajaan Taruma (bahasa Sunda: ᮒᮛᮥᮙᮔᮌᮛ) adalah kerajaan tertua kedua di Nusantara setelah Kerajaan Kutai, yang meninggalkan bukti arkeologi. Kerajaan ini pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi. Bukti tertua peninggalan arkeologi dari kerajaan ini adalah prasasti Ciaruteun, berupa batu peringatan dari abad ke-5 Masehi yang ditandai dengan bentuk tapak kaki raja Purnawarman.

    Terdapat tujuh bukti prasasti yang berhubungan dengan kerajaan Tarumanegara ditemukan di daerah Jawa Barat, Jakarta dan Banten. Prasasti tersebut di antaranya adalah prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi I, Jambu, Pasir Awi, dan Muara Cianten di dekat Bogor; prasasti Tugu di Jakarta Utara; dan prasasti Cidanghiang di Pandeglang, Banten

    Sumber sejarah Tarumanagara 

    Data arkeologi

    Sejarah Kerajaan Tarumanegara bersumber dari sejumlah prasasti yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti tersebut diberi nama berdasarkan lokasi penemuannya, yaitu prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Koleangkak, prasasti Kebon Kopi, prasasti Tugu, prasasti Pasir Awi, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Cidanghiang. Prasasti menyebutkan nama raja yang berkuasa adalah Purnawarman.

    Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Tapak Gajah)

    Lokasi prasasti ini di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada awal abad XIX oleh N.W. Hoepermans, tertulis pada bongkahan andesit rata dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dinamakan prasasti Tapak Gajah karena diapit oleh sepasang gambar kaki telapak gajah. Pahatan pada prasasti ini tidak terlalu dalam sehingga seiring dengan bertambahnya waktu tulisan pada prasasti sulit untuk terbaca.

    Alih aksara:

    “– — jayavisual terumi(indra)sya ha(st)ina? — — (°aira) vatabhasya vibhatidam=padadvaya? ||” yang artinya “Di sini tampak sepasang tapak kaki … yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam … dan (?) kejayaan”

    Prasasti Tugu

    Lokasi saat ini Prasasti Tugu di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, Kecamatan Koja, Kota Jakarta Utara. Prasasti ini keluar pada masa pemerintahan Purnawarman ditemukan pada abad iX Masehi tertulis dalam bahasa Sanskerta, aksara Pallawa dalam bentuk sloka dengan metrum anustubh. Dari sekian prasasti yang ditemukan saat pemerintahan raja Purnawarman, prasasti Tugu adalah yang terlengkap walaupun tidak menuliskan angka tahun.

    Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

    Prasasti Cidanghiyang (Prasasti Munjul)

    Lokasi prasasti ini di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Lokasinya masih insitu, ditemukan di tepi Cidanghiang. Pada prasasti ini tertulis dalam bahasa Sanskerta, dengan aksara Pallawa dan metrum anustubh, tampak keausan dan permukaan yang ditutupi lumut pada permukaan prasasti ini namun tulisan masih dapat dibaca. Isi dari prasasti ini merupakan pujian dan pengagungan terhadap raja Purnawarman. Prasasti ini pertama kali ditemukan pada tahun 1947 oleh Tubagus Roesjan dan diteliti pada tahun 1947.

    Alih aksara dari prasasti yaitu:

    (1) “vikrant ayam vanipateh | prabhu satyapara[k]ramah” yang berarti “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia” (2) “narendraddhavajabhutena | srimatah purnnavarmanah” yang berarti “Yang Mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

    Prasasti Ciaruteun

    Lokasi Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor ditemukan di aliran Ciaruteun, Bogor pada tahun 1863, prasasti ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa terdiri atas 4 baris puisi India (irama anustubh), dalam Prasasti Ciaruteun Berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya, menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat pada prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter dengan tinggi 1,5 meter, berbobot 8 ton.

    Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

    Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

    Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

    Baris ketiga: tarumanagarendrasya

    Baris keempat: visnoriva padadvayam |

    Artinya:
    “Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanegara), raja yang gagah berani di dunia”

    Berdasarkan pesan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun kita mengetahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-V dan menginformasikan bahwa pada masa lalu terdapat Kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja Purnawarman Yang memuja Dewa Wisnu yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan India dan terbukti pada nama raja yang berakhiran -warman (alih bahasa dari -varman) serta tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya.Pada tahun 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula, dan pada 1981 barulah prasasti ini dilindungi.

    Prasasti Muara Cianten

    Lokasi Prasasti Muara Cianten di Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans dan beberapa tokoh lainnya, ukuran Prasasti Muara Cianten sekitar 2,7 x 1,4 x 1,4 meter dengan jenis batu andesit, hingga saat ini isi prasasti ini belum dapat dibawa sebab menggunakan huruf sangkha atau ikal seperti huruf pada Prasasti Pasir Awi dan Ciaruteun B.

    Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)

    Lokasi Prasasti Jambu di Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, tempat ditemukannya prasasti ini merupakan Perkebunan Karet Sadeng Djamboe pada masa Kolonial Belanda, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg yang diperkirakan dibuat pada abad ke-V. Tulisan pada prasasti ini dipahat pada batu menyerupai segitiga berukuran sekitar 2–3 meter tiap sisinya, tertulis dalam huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta dan terdapat pahatan sepasang telapak kaki.

    Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

    śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.

    Berita asing  Tarumanagara 

    Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanegara berasal dari berita Cina, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Cina) dalam bentuk buku dengan judul “Fa-Kuo-Chi” menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M, di Ye-Po-Ti banyak orang Brahmana dan animisme.

    Pada tahun 414 M Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah kerajaan To-lo-mo (Kerajaan Tarumanagara), dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan. Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa pada tahun 528 dan 535, utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan. Berita Dinasti Tang menuliskan bahwa pada tahun 666 dan 669 utusan To-lo-mo telah datang. Dari berita tersebut dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanegara berkembang antara tahun 400600 M, yang pada saat itu masa kepemimpinan Raja Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat

    Naskah Wangsakerta

    Naskah Wangsakerta menjadi polemik di kalangan sejarawan, sebab naskah-naskah ini diragukan keasliannya sehingga sulit untuk dijadikan patokan sejarah. Sebelumnya, pada tahun 1980-an polemik di majalah, surat kabar, kalangan arkeolog terjadi bahkan sampai diangkat ke percaturan nasional. Penulisan Naskah Wangsakerta diklaim berlangsung selama 21 tahun dibawah pimpinan Pangeran Wangsakerta menggunakan kertas daluang dan tinta hitam dan bertahan selama 100 tahun sehingga dapat dikatakan bahwa naskah yang ada di Museum Sri Baduga merupakan naskah salinan.

    Isi dari naskah ini mendeskripsikan mengenai sejarah pulau-pulau di Nusantara. Bahkan uraian sejarah tertulis lengkap dan terperinci mulai dari kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara hingga daftar raja-raja yang memerintah lengkap beserta angka tahun pemerintahannya tertulis secara rinci. Naskah Wangsakerta terdiri atas 5 karangan dengan judul Carita Parahyangan, Negarakretabhumi, Pustaka Dwipantara Parwa, Pustaka Pararatwan, Pustaka i Bhumi Jawadwipa dan Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara. Polemik muncul sebab naskah-naskah ini mirip tulisan buku sejarah modern dan begitu lengkap

    Penguasa Tarumanagara

    Sejauh ini, sumber primer berupa prasasti hanya menyebutkan satu raja, yakni Purnawarman sebagai raja Tarumanagara. Silsilah nenek moyang maupun keturunan Purnawarman sama sekali tidak disebutkan dalam prasasti manapun.

    Naskah Wangsakerta yang konon pernah disusun pada abad ke-17 setelah era Kerajaan Tarumanegara menyebutkan setidaknya terdapat 12 raja yang pernah memimpin Tarumanagara. Diawali dengan Jayasingawarman sebagai raja pertama dan diakhiri oleh Linggawarman sebagai raja terakhir. Masih menurut Wangsakerta, kerajaan Tarumanegara jatuh pada menantu dari putri sulungnya yaitu Tarusbawa dari Kerajaan Sunda. Tarusbawa lebih menginginkan kerajaannya sendiri yaitu Sunda. Namun, hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara pasti kapan Kerajaan Tarumanegara berakhir mengingat Naskah Wangsakerta baru ditulis 1.000 tahun setelah kejadian sebenarnya.

    Kehidupan di Tarumanagara

    Kehidupan politik pada masa Kerajaan Tarumanegara diketahui berdasarkan prasasti yang telah ditemukan. Berdasarkan prasasti tersebut, raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat adalah Raja Purnawarman yang dibuktikan dalam prasasti tugu yang menuliskan bahwa penggalian kali yang dilakukan membuat kehidupan rakyat makmur dan merasa aman. Selanjutnya, kondisi sosial pada masa pemerintahan Raja Purnawarman terus meningkat dengan memperhatikan kedudukan kaum Brahmana sebagai tanda penghormatan kepada para dewa. Agama yang dianut oleh Raja Purnawarman dan rakyatnya adalah Hindu Siwa dengan kaum Brahmana sebagai pemegang peran penting dalam upacara. Sikap toleransi beragama pada masa ini cukup tinggi dibuktikan dengan adanya agama Budha dan agama nenek moyang (animisme).

    Prasasti tugu menjelaskan bahwa Raja Purnawarman membuat terusan (sepanjang) 6122 tombak yang dipergunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan dengan daerah sekitarnya (Kalimalang (?)). Hal ini menandakan kehidupan ekonomi rakyatnya tertata rapi. Selain itu, kehidupan budaya pada masa itu sudah berada di dalam taraf tinggi yang ditandai dengan teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti yang memperlihatkan perkembangan budaya tulis menulis.

    Lokasi Kerajaan Tarumanegara

    Dikutip dari Modul Sejarah Indonesia Kelas X terbitan, letak Kerajaan Tarumanegara ada di Jawa Barat, tepatnya di tepi Sungai Cisadane, yang kini menjadi wilayah Banten. Kerajaan Tarumanegara berpusat di Sundapura, dengan wilayah kekuasaan yang hampir meliputi seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten.

    Letak ibu kota Tarumanegara dengan kerajaan nya belum dapat dipastikan. Akan tetapi, jika diperkirakan oleh Prof Dr Poerbatjaraka, letak Kerajaan Taruma berada di wilayah Bekasi. Hal ini sesuai dengan keterangan yang tercantum di Prasasti Tugu. Dalam prasasti tersebut memberitahukan tentang penggalian Sungai Candrabaga yang mengalir melewati istana sampai ke laut.

    Penyebab Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara

    Masa kejayaan Kerajaan Tarumanegara saat pemerintahan Raja Purnawarman. Di masa itu, masyarakat Tarumanegara berdagang beras dan kayu jati, serta membangun terusan sepanjang 6.122 tombak yang pada akhirnya membantu perkembangan ekonomi.

    Terusan yang dibuat oleh masyarakat dapat digunakan untuk mencegah banjir dan dijadikan sarana lalu lintas pelayaran perdagangan antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar.

    Selain dari sisi perdagangan, Kerajaan Tarumanegara juga unggul dengan sarana pengairan persawahan dan perkembangan peternakan yang baik. Kendati demikian, keruntuhan kerajaan tetap tak terelakkan.

    Mulai masa pemerintahan Raja Sudhawarman, Kerajaan Tarumanegara mengalami kemunduran. Penyebab runtuhnya Kerajaan Tarumanegara adalah kurangnya pengawasan dan perlindungan dari Raja Sudhawarman terhadap masalah-masalah di kerajaan, dan tidak adanya putra dari raja terakhir Tarumanegara, yaitu Linggawarman.

    Penyebab lainnya adalah karena kemunculan Kerajaan Galuh yang menjadi pesaing baru tetapi masih bagian dari Kerajaan Tarumanegara. Pada akhirnya, Kerajaan Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Tarumanegara untuk menghindari perang saudara.

    Menurut Prasasti Kota Kapur, Dapunta Hyang Sri Jayanegara mengungkapkan bahwa keruntuhan Kerajaan Tarumanegara bersamaan dengan serangan yang dilancarkan kepada Bhumi Jawa karena dianggap tidak mau mengalah kepada Sriwijaya.

  • Kerajaan Kutai Martapura kerajaan pertama kali diindonesia

    kerajaan kutai kerjaan pertama kali  yang ada diindonesia

    Kerajaan Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4 Masehi. Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Silsilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini

    Historiografi

    Sumber primer sejarah Kerajaan Martapura adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman. Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional, Jakarta). Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.

    Selain sumber prasasti yupa, terdapat kitab Surat Silsilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia sehingga perihal lanjutan riwayat Dinasti Mulawarman tidak termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.

    Penamaan

    Nama kerajaan tertua di Nusantara yang umumnya diketahui oleh khalayak adalah Kutai. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan, nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di wilayah Kesultanan Kutai. Tetapi, prasasti yupa sendiri tidak pernah menyebutkan nama kerajaannya dengan Kutai. Nama Kutai sendiri baru muncul sekitar abad XIII sebagai nama kerajaan yang berpusat di daerah hilir Sungai Mahakam, di situs Kutai Lama di Kecamatan Anggana. Kerajaan ini disebutkan dalam Nagarakretagama sebagai Tanjung Kutei, Ibu kota Kutai ini kemudian dipindahkan ke Tenggarong. Menurut riwayat, kerajaan Kutai Kartanegara menginvasi daerah Muara Kaman yang disebut sebagai Kerajaan Martapura. Nama Martapura inilah yang kemudian diduga sebagai nama Kerajaan yang pernah berdiri di Muara Kaman.

    Raja-Raja Kutai Martapura

    Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Silsilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan merantau seorang dukun dalam upacara adat belian.

    Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Aswawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan. Pada salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan kutai adalah kudungga, yang diteruskan kepada Aswawarman. Kemudian adapun pengganti dari Aswawarman yang memiliki putra sebanyak tiga orang yaitu Mulawarman. Nampaknya, pada zaman Mulawarman disitulah kerajaan kutai mencapai kejayaan tersebut.

    Maharaja Kudungga

    Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India. Pada awalnya kedudukan Kudungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun.Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.

    Maharaja Aswawarman

    Merupakan Raja Kedua dari Kerajaan Martapura sekaligus anak dari Raja Kudungga. Aswawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

    Mulawarman Nala Dewa

    Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

    Masa Kejayaan Kerajaan Kutai Martapura

    Berdasarkan Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.

    Mulawarman disebut-sebut sebagai raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan 20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di “Vaprakecvara”. Waprakeswara adalah tempat suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia.

    Sebagai keturunan Aswawarman, Mulawarman juga melakukan upacara “Vratyastoma”, yaitu upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada masa pemerintahan Mulawarman, upacara penghinduan ini dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan ekonomi kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan karena letaknya sangat strategis.

    1. Aspek Sosial

    Kehidupan sosial pada kerajaan ini ditandai dengan adanya golongan terdidik yang banyak. Golongan terdidik ini menguasai bahasa sansekerta beserta huruf pallawa. Adapun golongan tersebut adalah golongan brahmana dan ksatria. Golongan ksatria terdiri dari kerabat Raja Mulawarman pada masa itu.

    Hal tersebut dibuktikan dengan adanya upacara pemberkatan seseorang yang memeluk agama hindu. Dimana para brahmana memakai bahasa sansekerta yang sering digunakan pada prosesi adat tertentu, namun sulit untuk dipelajari. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu, para brahmana memiliki intelektual yang tinggi.

    2. Aspek Politik

    Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, stabilitas politik begitu terjaga. Sistem politik menjadi kekuatan yang besar pengaruhnya dalam memimpin suatu kerajaan. Hal tersebut juga disebutkan di Prasasti Yupa bahwa Raja Mulawarman dikatakan menjadi raja yang berkuasa, kuat serta bijaksana.

    Secara jelas isi Prasasti Yupa tersebut adalah “Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai putra yang manshur, bernama Sang Aswawarman, ia seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) dengan menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman memiliki putra tiga, seperti api yang suci berjumlah tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang baik, kuat, dan bijaksana. Sang Mulawarman telah melakukan kenduri dengan emas yang amat banyak. Karena kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.” Dari sinilah kita dapat mengetahui kekuatan politik dari Raja Mulawarman. Begitu kuatnya, hingga rakyat dan para golongan brahmana pun mendirikan tugu sebagai bukti bahwa dirinya sangat berkuasa pada masa itu.

    3. Aspek Ekonomi

    Letak kerajaan yang berada dekat dengan Sungai Mahakam, membuat rakyatnya begitu mudah untuk bercocok tanam. Hal tersebut menjadi mata pencaharian utama, sedangkan lainnya lebih banyak beternak sapi dan berdagang. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan tertulis yang menyatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

    Selain itu, Kerajaan Kutai juga menerapkan sistem penarikan hadiah yang harus diberikan kepada raja bagi pedagang luar yang ingin berdagang di daerah Kutai. Pemberian hadiah biasanya berupa barang yang mahal atau upeti yang dianggap sebagai pajak. Oleh sebab itu, Kutai mendapatkan banyak pemasukan dari berbagai sumber.

    4. Aspek Agama

    Kehidupan masyarakat Kutai begitu kental dengan dengan keyakinannya pada leluhur. Terbukti dengan adanya Prasasti Yupa yang berbentuk seperti tugu batu. Jika dilihat asal usulnya, tugu batu sendiri merupakan peninggalan nenek moyang pada Zaman Megalitikum.

    Kemudian terdapat menhir dan batu berundak, selain itu dalam prasasti yupa menyebutkan tempat pemujaan yang suci bernama Waprakeswara (tempat pemujaan dewa siwa). Oleh sebab itu, diyakini bahwa bahwa Raja sebagai penganut agama hindu siwa bercampur dengan golongan brahmana. Sedangkan rakyatnya dibebaskan untuk menganut agama hindu dalam aliran lainnya.

    Masa kejayaan tersebut tidak berlangsung lama, setelah Raja Mulawarman wafat, Kutai banyak mengalami pergantian pemimpin. Hingga akhirnya kerajaan ini runtuh, pada masa kepemimpinan Raja Dharma Setia. Telah dikabarkan bahwa Raja Dharma Setia tewas dibunuh oleh penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu Pangeran Anum Panji Mendapa pada abad ke-13 M.

    Perlu diketahui bahwa kerajaan Kutai Kartanegara berbeda dengan Kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman. Kerajaan Kutai Kartanegara terletak di Tanjung Kute. Kemudian kerajaan inilah yang disebut dalam Kitab Negarakertagama pada tahun 1365.

    Selanjutnya dalam perkembangannya Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan islam yang disebut dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Inilah awal mula keruntuhan Kutai Mulawarman yang disebut juga dengan Kutai Martadipura. Selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Kesultanan Kutai Kartanegara.

    Peninggalan Kerajaan Kutai

    Peninggalan Kerajaan Kutai yang penting dan tersohor adalah tujuh buah Prasasti Yupa yang bertuliskan dengan huruf pallawa dalam bahasa sansekerta. Prasasti ini banyak memberikan cerita tentang sejarah dari keluarga Kerajaan Kutai. Yupa sendiri merupakan tugu bantu dengan tinggi sekitar 1 meter yang tertanam di atas tanah, mirip seperti tiang yang berukuran besar.

    Pada bagian bawah permukaan, terukir  tulisan Prasasti Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dipercaya bahwa maksud orang terdahulu  menulis kalimat tersebut adalah untuk memperkenalkan kerajaannya. Selain itu, Yupa sendiri memiliki fungsi sebagai prasasti, tiang pengikat hewan, serta lambang kebesaran raja.

    Adapun isi dari tujuh Yupa yang telah diterjemahkan oleh para ahli adalah sebagai berikut:

    1. Berisi tentang silsilah raja yang pernah memerintah dan memiliki kekuasaan di Kutai.
    2. Letak strategis Kerajaan Kutai yang berada pada hilir Sungai Mahakam, yaitu Muara Kaman.
    3. Tersebarnya agama hindu pada pemerintahan Raja Aswawarman.
    4. Aswawarman dikatakan sebagai pendiri kerajaan dengan gelarnya “Wangsakerta”.
    5. Wilayah kerajaan tertulis meliputi keseluruhan wilayah Kalimantan Timur.
    6. Menceritakan kondisi kehidupan di Kutai yang aman dan sejahtera.
    7. Menceritakan kebaikan serta kekuasaan Raja Mulawarman yang telah memberikan sumbangan berupa 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

    Berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara

    Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman), berdirilah Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri Tanjung Kue, Kalimantan Timur. Namun, saat ini letak kerajaan tersebut diketahui hanya tersisa semak belukar dan makam kuno yang dipercaya sebagai makam keramat.

    Kerajaan Kutai Kartanegara disebut juga dalam hikayat raja-raja pasir dan kitab pararaton. Selain itu, cerita masyarakat tentang kerajaan ini dituangkan dalam buku Salasilah Kutai. Yaitu sebuah buku atau kitab dengan bahasa arab melayu untuk mengisahkan kehidupan raja-raja pada masa itu.

    Kisah Kerajaan Kutai dimulai dari seorang kepala suku jahitan layar yang memiliki masalah karena belum dikaruniai keturunan setelah lama berumah tangga. Kemudian ia mendapat bola emas secara ajaib yang didalamnya terdapat anak laki-laki. Lantas anak itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.

    Pada waktu yang bersamaan, kepala suku hulu dusun juga menemukan seorang anak perempuan yang berada di atas buih Sungai Mahakam. Anak perempuan ini kemudian diberi nama Putri Karang Melenu atau Putri Junjung Buih. Kedua anak tersebut, yaitu Aji Batara dan Putri Melenu setelah dewasa menikah dan melahirkan seorang keturunan.

    Keturunannya ini adalah seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Aji Paduka Nira. Setelah anaknya lahir, Aji Batara akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan jauh ke tanah jawa, yaitu Kerajaan Majapahit. Sayangnya, karena ditinggal terlalu lama, Putri Melenu tak tahan hidup sendiri, sehingga menyeburkan dirinya ke Sungai Mahakam.

    Setelah kepulangannya, Aji Batara bersedih hati mengetahui istrinya telah tiada. Akhirnya ia melakukan hal sama dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mahakam seperti istrinya. Setelah kedua orang tuanya tiada, Aji Paduka Nira menjadi raja yang sah kedua untuk memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara.

    Aji Paduka Nira pun akhirnya menikahi seorang Putri yang bernama Putri Paduka Suri. Dari perkawinannya ini lahirlah keturunan yang berjumlah 7 orang anak. Yaitu diantaranya 5 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan.

    Diketahui bahwa istrinya tersebut merupakan keturunan Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman). Ia merupakan anak dari Raja Guna Parana Tungga, keturunan dari generasi ke- 20. Setelah menikah, namanya dikenal dengan Putri Paduka Suri, sedangkan nama aslinya adalah Indra Perwati Dewi.

    Salah satu tujuan dari pernikahan ini adalah untuk memperkuat kekuasaan politik kerajaan. Namun, banyak yang menyimpulkan bahwa pernikahan ini hanya untuk menghindarkan perselisihan antara kedua kerajaan. Setelah masa kepemimpinannya selesai, Kerajaan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Maharaja Sultan.

    Untuk memperluas ilmu serta kekuasaannya, Maharaja Sultan pergi ke Majapahit untuk menimba pengetahuan. Setelah kepulangannya dari Majapahit, Maharaja Sultan menikah dengan Aji Paduka Sari dan dikaruniai anak yang bernama Mandarsyah. Tak berlangsung lama, akhirnya kepemimpinan ayahnya ini diserahkan kepada anak tersebut, yaitu Raja Mandarsyah.

    Pada usia 4 tahun, ayahnya tersebut meninggal dunia. Oleh karena itu, ia dinobatkan sebagai raja setelah beranjak dewasa sebagai pewaris tunggal yang sah. Namun, Raja Mandarsyah tidak dikaruniai keturunan selama masa kepemimpinannya. Sehingga ia harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Tumenggung Baya-Baya, hingga akhir kepemimpinan yang terus berganti dengan penerus-penerus baru.

    Silsilah Kerajaan Kutai Kartanegara

    Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan kerajaan yang memiliki silsilah panjang. Hal ini juga dikarenakan perkembangan dan transisi masa perubahan keyakinan, yaitu hindu ke islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini juga dikenal dengan kesultanan. Berikut adalah silsilah kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara:

    1. Aji Batara Agung Dewa Sakti 1300-1325 M
    2. Aji Batara Agung Paduka Nira 1325-1360 M
    3. Maharaja Sultan 1360-1420 M
    4. Raja Mandarsyah 1420-1475 M
    5. Pangeran Tumenggung Bayabaya 1475-1545 M
    6. Raja Mahkota 1454-1610 M
    7. Aji Dilanggar 1610-1635 M
    8. Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura 1635-1650 M
    9. Pangeran Dipati Agung Ing Martadipura 1650-1665 M
    10. Pangeran Dipati Maja Kusuma Ing Martadipura 1665-1686 M
    11. Aji Ragi Gelar Ratu Agung 1686-1700 M
    12. Pangeran Dipati Tua Ing Martadipura 1700-1710 M
    13. Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martadipura 1710-1735 M
    14. Sultan Aji Muhammad Idris 1735-1778 M
    15. Sultan Aji Muhammad Aliyeddin 1778-1780 M
    16. Sultan Aji Muhammad Muslihuddin 1780-1816 M
    17. Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1816-1845 M
    18. Dewan Perwalian 1845-1850 M
    19. Sultan Aji Muhammad Sulaiman 1850-1899 M
    20. Sultan Aji Muhammad Alimuddin 1899-1910 M
    21. Pangeran Mangkunegoro 1910-1920 M
    22. Sultan Aji Muhammad Parikesit 1920-1960 M