Kerajaan Kutai Martapura kerajaan pertama kali diindonesia

kerajaan kutai kerjaan pertama kali  yang ada diindonesia

Kerajaan Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4 Masehi. Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Silsilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini

Historiografi

Sumber primer sejarah Kerajaan Martapura adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman. Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional, Jakarta). Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.

Selain sumber prasasti yupa, terdapat kitab Surat Silsilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia sehingga perihal lanjutan riwayat Dinasti Mulawarman tidak termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.

Penamaan

Nama kerajaan tertua di Nusantara yang umumnya diketahui oleh khalayak adalah Kutai. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan, nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di wilayah Kesultanan Kutai. Tetapi, prasasti yupa sendiri tidak pernah menyebutkan nama kerajaannya dengan Kutai. Nama Kutai sendiri baru muncul sekitar abad XIII sebagai nama kerajaan yang berpusat di daerah hilir Sungai Mahakam, di situs Kutai Lama di Kecamatan Anggana. Kerajaan ini disebutkan dalam Nagarakretagama sebagai Tanjung Kutei, Ibu kota Kutai ini kemudian dipindahkan ke Tenggarong. Menurut riwayat, kerajaan Kutai Kartanegara menginvasi daerah Muara Kaman yang disebut sebagai Kerajaan Martapura. Nama Martapura inilah yang kemudian diduga sebagai nama Kerajaan yang pernah berdiri di Muara Kaman.

Raja-Raja Kutai Martapura

Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Silsilah Raja dalam Negeri Kutai Kartanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan merantau seorang dukun dalam upacara adat belian.

Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Aswawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan. Pada salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa yang menjadi cikal bakal dari kerajaan kutai adalah kudungga, yang diteruskan kepada Aswawarman. Kemudian adapun pengganti dari Aswawarman yang memiliki putra sebanyak tiga orang yaitu Mulawarman. Nampaknya, pada zaman Mulawarman disitulah kerajaan kutai mencapai kejayaan tersebut.

Maharaja Kudungga

Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India. Pada awalnya kedudukan Kudungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun.Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.

Maharaja Aswawarman

Merupakan Raja Kedua dari Kerajaan Martapura sekaligus anak dari Raja Kudungga. Aswawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

Mulawarman Nala Dewa

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai Martapura

Berdasarkan Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.

Mulawarman disebut-sebut sebagai raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan 20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di “Vaprakecvara”. Waprakeswara adalah tempat suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia.

Sebagai keturunan Aswawarman, Mulawarman juga melakukan upacara “Vratyastoma”, yaitu upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada masa pemerintahan Mulawarman, upacara penghinduan ini dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan ekonomi kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan karena letaknya sangat strategis.

1. Aspek Sosial

Kehidupan sosial pada kerajaan ini ditandai dengan adanya golongan terdidik yang banyak. Golongan terdidik ini menguasai bahasa sansekerta beserta huruf pallawa. Adapun golongan tersebut adalah golongan brahmana dan ksatria. Golongan ksatria terdiri dari kerabat Raja Mulawarman pada masa itu.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya upacara pemberkatan seseorang yang memeluk agama hindu. Dimana para brahmana memakai bahasa sansekerta yang sering digunakan pada prosesi adat tertentu, namun sulit untuk dipelajari. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu, para brahmana memiliki intelektual yang tinggi.

2. Aspek Politik

Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, stabilitas politik begitu terjaga. Sistem politik menjadi kekuatan yang besar pengaruhnya dalam memimpin suatu kerajaan. Hal tersebut juga disebutkan di Prasasti Yupa bahwa Raja Mulawarman dikatakan menjadi raja yang berkuasa, kuat serta bijaksana.

Secara jelas isi Prasasti Yupa tersebut adalah “Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai putra yang manshur, bernama Sang Aswawarman, ia seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) dengan menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman memiliki putra tiga, seperti api yang suci berjumlah tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang baik, kuat, dan bijaksana. Sang Mulawarman telah melakukan kenduri dengan emas yang amat banyak. Karena kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.” Dari sinilah kita dapat mengetahui kekuatan politik dari Raja Mulawarman. Begitu kuatnya, hingga rakyat dan para golongan brahmana pun mendirikan tugu sebagai bukti bahwa dirinya sangat berkuasa pada masa itu.

3. Aspek Ekonomi

Letak kerajaan yang berada dekat dengan Sungai Mahakam, membuat rakyatnya begitu mudah untuk bercocok tanam. Hal tersebut menjadi mata pencaharian utama, sedangkan lainnya lebih banyak beternak sapi dan berdagang. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan tertulis yang menyatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Selain itu, Kerajaan Kutai juga menerapkan sistem penarikan hadiah yang harus diberikan kepada raja bagi pedagang luar yang ingin berdagang di daerah Kutai. Pemberian hadiah biasanya berupa barang yang mahal atau upeti yang dianggap sebagai pajak. Oleh sebab itu, Kutai mendapatkan banyak pemasukan dari berbagai sumber.

4. Aspek Agama

Kehidupan masyarakat Kutai begitu kental dengan dengan keyakinannya pada leluhur. Terbukti dengan adanya Prasasti Yupa yang berbentuk seperti tugu batu. Jika dilihat asal usulnya, tugu batu sendiri merupakan peninggalan nenek moyang pada Zaman Megalitikum.

Kemudian terdapat menhir dan batu berundak, selain itu dalam prasasti yupa menyebutkan tempat pemujaan yang suci bernama Waprakeswara (tempat pemujaan dewa siwa). Oleh sebab itu, diyakini bahwa bahwa Raja sebagai penganut agama hindu siwa bercampur dengan golongan brahmana. Sedangkan rakyatnya dibebaskan untuk menganut agama hindu dalam aliran lainnya.

Masa kejayaan tersebut tidak berlangsung lama, setelah Raja Mulawarman wafat, Kutai banyak mengalami pergantian pemimpin. Hingga akhirnya kerajaan ini runtuh, pada masa kepemimpinan Raja Dharma Setia. Telah dikabarkan bahwa Raja Dharma Setia tewas dibunuh oleh penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu Pangeran Anum Panji Mendapa pada abad ke-13 M.

Perlu diketahui bahwa kerajaan Kutai Kartanegara berbeda dengan Kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman. Kerajaan Kutai Kartanegara terletak di Tanjung Kute. Kemudian kerajaan inilah yang disebut dalam Kitab Negarakertagama pada tahun 1365.

Selanjutnya dalam perkembangannya Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan islam yang disebut dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Inilah awal mula keruntuhan Kutai Mulawarman yang disebut juga dengan Kutai Martadipura. Selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Kesultanan Kutai Kartanegara.

Peninggalan Kerajaan Kutai

Peninggalan Kerajaan Kutai yang penting dan tersohor adalah tujuh buah Prasasti Yupa yang bertuliskan dengan huruf pallawa dalam bahasa sansekerta. Prasasti ini banyak memberikan cerita tentang sejarah dari keluarga Kerajaan Kutai. Yupa sendiri merupakan tugu bantu dengan tinggi sekitar 1 meter yang tertanam di atas tanah, mirip seperti tiang yang berukuran besar.

Pada bagian bawah permukaan, terukir  tulisan Prasasti Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dipercaya bahwa maksud orang terdahulu  menulis kalimat tersebut adalah untuk memperkenalkan kerajaannya. Selain itu, Yupa sendiri memiliki fungsi sebagai prasasti, tiang pengikat hewan, serta lambang kebesaran raja.

Adapun isi dari tujuh Yupa yang telah diterjemahkan oleh para ahli adalah sebagai berikut:

  1. Berisi tentang silsilah raja yang pernah memerintah dan memiliki kekuasaan di Kutai.
  2. Letak strategis Kerajaan Kutai yang berada pada hilir Sungai Mahakam, yaitu Muara Kaman.
  3. Tersebarnya agama hindu pada pemerintahan Raja Aswawarman.
  4. Aswawarman dikatakan sebagai pendiri kerajaan dengan gelarnya “Wangsakerta”.
  5. Wilayah kerajaan tertulis meliputi keseluruhan wilayah Kalimantan Timur.
  6. Menceritakan kondisi kehidupan di Kutai yang aman dan sejahtera.
  7. Menceritakan kebaikan serta kekuasaan Raja Mulawarman yang telah memberikan sumbangan berupa 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.

Berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman), berdirilah Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri Tanjung Kue, Kalimantan Timur. Namun, saat ini letak kerajaan tersebut diketahui hanya tersisa semak belukar dan makam kuno yang dipercaya sebagai makam keramat.

Kerajaan Kutai Kartanegara disebut juga dalam hikayat raja-raja pasir dan kitab pararaton. Selain itu, cerita masyarakat tentang kerajaan ini dituangkan dalam buku Salasilah Kutai. Yaitu sebuah buku atau kitab dengan bahasa arab melayu untuk mengisahkan kehidupan raja-raja pada masa itu.

Kisah Kerajaan Kutai dimulai dari seorang kepala suku jahitan layar yang memiliki masalah karena belum dikaruniai keturunan setelah lama berumah tangga. Kemudian ia mendapat bola emas secara ajaib yang didalamnya terdapat anak laki-laki. Lantas anak itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Pada waktu yang bersamaan, kepala suku hulu dusun juga menemukan seorang anak perempuan yang berada di atas buih Sungai Mahakam. Anak perempuan ini kemudian diberi nama Putri Karang Melenu atau Putri Junjung Buih. Kedua anak tersebut, yaitu Aji Batara dan Putri Melenu setelah dewasa menikah dan melahirkan seorang keturunan.

Keturunannya ini adalah seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Aji Paduka Nira. Setelah anaknya lahir, Aji Batara akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan jauh ke tanah jawa, yaitu Kerajaan Majapahit. Sayangnya, karena ditinggal terlalu lama, Putri Melenu tak tahan hidup sendiri, sehingga menyeburkan dirinya ke Sungai Mahakam.

Setelah kepulangannya, Aji Batara bersedih hati mengetahui istrinya telah tiada. Akhirnya ia melakukan hal sama dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mahakam seperti istrinya. Setelah kedua orang tuanya tiada, Aji Paduka Nira menjadi raja yang sah kedua untuk memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara.

Aji Paduka Nira pun akhirnya menikahi seorang Putri yang bernama Putri Paduka Suri. Dari perkawinannya ini lahirlah keturunan yang berjumlah 7 orang anak. Yaitu diantaranya 5 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan.

Diketahui bahwa istrinya tersebut merupakan keturunan Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman). Ia merupakan anak dari Raja Guna Parana Tungga, keturunan dari generasi ke- 20. Setelah menikah, namanya dikenal dengan Putri Paduka Suri, sedangkan nama aslinya adalah Indra Perwati Dewi.

Salah satu tujuan dari pernikahan ini adalah untuk memperkuat kekuasaan politik kerajaan. Namun, banyak yang menyimpulkan bahwa pernikahan ini hanya untuk menghindarkan perselisihan antara kedua kerajaan. Setelah masa kepemimpinannya selesai, Kerajaan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Maharaja Sultan.

Untuk memperluas ilmu serta kekuasaannya, Maharaja Sultan pergi ke Majapahit untuk menimba pengetahuan. Setelah kepulangannya dari Majapahit, Maharaja Sultan menikah dengan Aji Paduka Sari dan dikaruniai anak yang bernama Mandarsyah. Tak berlangsung lama, akhirnya kepemimpinan ayahnya ini diserahkan kepada anak tersebut, yaitu Raja Mandarsyah.

Pada usia 4 tahun, ayahnya tersebut meninggal dunia. Oleh karena itu, ia dinobatkan sebagai raja setelah beranjak dewasa sebagai pewaris tunggal yang sah. Namun, Raja Mandarsyah tidak dikaruniai keturunan selama masa kepemimpinannya. Sehingga ia harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Tumenggung Baya-Baya, hingga akhir kepemimpinan yang terus berganti dengan penerus-penerus baru.

Silsilah Kerajaan Kutai Kartanegara

Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan kerajaan yang memiliki silsilah panjang. Hal ini juga dikarenakan perkembangan dan transisi masa perubahan keyakinan, yaitu hindu ke islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini juga dikenal dengan kesultanan. Berikut adalah silsilah kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara:

  1. Aji Batara Agung Dewa Sakti 1300-1325 M
  2. Aji Batara Agung Paduka Nira 1325-1360 M
  3. Maharaja Sultan 1360-1420 M
  4. Raja Mandarsyah 1420-1475 M
  5. Pangeran Tumenggung Bayabaya 1475-1545 M
  6. Raja Mahkota 1454-1610 M
  7. Aji Dilanggar 1610-1635 M
  8. Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura 1635-1650 M
  9. Pangeran Dipati Agung Ing Martadipura 1650-1665 M
  10. Pangeran Dipati Maja Kusuma Ing Martadipura 1665-1686 M
  11. Aji Ragi Gelar Ratu Agung 1686-1700 M
  12. Pangeran Dipati Tua Ing Martadipura 1700-1710 M
  13. Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martadipura 1710-1735 M
  14. Sultan Aji Muhammad Idris 1735-1778 M
  15. Sultan Aji Muhammad Aliyeddin 1778-1780 M
  16. Sultan Aji Muhammad Muslihuddin 1780-1816 M
  17. Sultan Aji Muhammad Salehuddin 1816-1845 M
  18. Dewan Perwalian 1845-1850 M
  19. Sultan Aji Muhammad Sulaiman 1850-1899 M
  20. Sultan Aji Muhammad Alimuddin 1899-1910 M
  21. Pangeran Mangkunegoro 1910-1920 M
  22. Sultan Aji Muhammad Parikesit 1920-1960 M

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *